Kamis, 06 Mei 2010

AKHWAT MUBAZIR


“Kok disisain banyak gini, Lin?”Aku melotot melihat onggokan nasi dan cap cay yang memenuhi piring.
“Udah kenyang! Nggak kuat lagi Ra!” Meilin memegangi perutnya.
“Kenapa tadi dibeli? Porsi capcay di sini kan emang banyak banget, harganya aja sebelas rebu,” aku menatap meilin gemas. Akhwat sipit itu cuek aja mengambil tisu dan mengelap mulutnya.
“yaa. Tadi kan aku lagi laper, Ra...”
“kamu nggak sayang, Lin? Sebelas ribu cuma kamu habisin seperempatnya doang?” tanyaku lagi.
“Aku mah lebih sayang sama badanku, Ra! Daripada makan berlebihan, badanku yang rusak, hayoo!”
Aku geleng0geleng kepala sambil menghela napas panjang. Pusing melihat kelakuan Meilin yang telah berulang kali seperti ini.
“yah.. terserahlah!” seruku akhirnya. Meilin tersenyum lebar sampai kelihatan kayak lagi merem, matanya yang sudah kecil tambah nggak kelihata.
“mas, jus mangganya satu!” Meilin memanggil seorang pelayan melintas.
“sebenarnya kamu kenapa sih ,Ra? Aku perhatiin... kayaknya kamu nggak pernah seneng nganterin aku makan di sini.”
Aku menggeleng cepat.
“Bukan! Bkan kayak gitu, Lin! Aku cuma ngerasa kamu boros aja kalau makan di sini.”
“Boros?” Meilin mengernyitkan kening, “Boros gimana maksud kamu?” Dia mencondongkan wajah ke arahku minta penjelasan.
“yah... kalo di tempat makan deket stasiun sana harga capcay kan cuma enam ribu, jus cuma tiga ribu, kamu malah makan di sini. Capcay sebelas ribu, jus enam ribu. Padahal kalau menurutku, rasa di sini sama saja, cuma menang tempat doang.”
Gantian Meilin yang geleng kepala, tersenyum sambil menyandarkan punggung ke belakang kursi.
“Kalau soal makan, aku nggak mau di sembarang tempat, Ra! Kamu tahu sendiri kan banyak makanan yang nggak sehat pengolahannya, pake pengawt lah, formalin, dan kawan-kawan. Nah, kalau di tempat ini aku udah yakin halal dan bersih. Bukankah itu yang seharusnya lebih penting untuk diperhatikan?”
Aku terdiam, “Benar juga sih. Tapi kalau gitu, lebih baik lain kali kita makan bareng aja, satu piring berdua, pt-pt, gimana? Daripada mubazir, temannya setan”
“Iih... kamu nggak risih apa makan satu porsi berdua?” Meilin mengernyit.
“Memangnya kenapa?” Akuikutan mengernyit.
“nanti dikira orang-orang, kita nggak mampu beli lho!”
Deg. Ada jarum beracun tertancap di jantungku.
“Lagipula tenang aja, nggak bakal mubazir kali... kan sisa-sisa makananku ini bisa dimakan kucing, tikus, bisa juga dijadiin pupuk alami, mana ada yang nggak berguna.”

pelayan menaruh segelas jus mangga ke atas meja. Meilin langsung mengambil uang dalam dompetnya dan membayar lunas pesanannya. Kemudian ia menyedot jus mangganya, mengambil tisu lagi ,mengelap mulutnya lagi, lalu mengajakku pulang.
“Yuk, cabut!”
Aku melotot melihat jus mangga yang masih tersisa lebih dari setengah gelas besar itu.
“Meiliiin! Habisin dulu! Ini enam ribu tauuk!” Omelku. Meilin cuma mengangkat bahu.
“Agak asem, aku nggak suka, buat pupuk aja. Yuk ah!”
Seperti ada orang yang menggoreng jantungku, panas banget.

* * *

Mungkin bukan Meilin yang boros atau mubazir.
Yah, mungkin bukan Meilin yang berlebihan, tapi akulah yang kekurangan! Sehingga melihat kelakuan seperti Meilin itu aku tak bisa menerimanya.
Bagaimana bisa terima? Uang delapan belas ribu untuk sekali makan, itupun terbuang percuma. Masih lumayan kalau habis, berguna untuk tubuh dia. Lha.. ini, semuanya dikasi ke kucing, tikus, atau pohon. Keren amat! Aku aja nggak pernah makan yang begituan. Jangan-jangan tikus di sekitar tempat makan itu lebih makmur daripada aku, huh!
“Bu, nasinya dibungkus, yang banyak ya! 1 porsi kuli!” seruku pada ibu tukang jual nasi langgananku.
“Lauknya apa, Nak?”
“Dipisah kayak biasa ya, Bu! Perkedel kentang 2, perkedel jagung 2, telur 1, sama sambalnya banyakin!” Si Ibu tersenyum melihatku sambil membungkus semua pesananku.
“Udah?Berapa semuanya Bu””
“Buat Neng mah empat ribu aja!”
“Hah? Cuma empat ribu?Serius Bu?Nggak rugi nih?Ya Udah!” langsung kuberi empat lembar uang seribuan, khawatir si Ibu berubah pikiran. Si Ibu hanya tertawa melihat kelukuanku yang ketahuan nggak punya duit gitu.
“Eh, lupa Bu! Minta air minum sama sendok bebeknya sekalian!” seruku cuek. Si Ibu senyumnya makin lebar. Mungkin lucu ngeliat akhwat jilbab lebar kayak aku kok tumben ada yang kere! Kali ye.
Biarin aja, yang penting hidup mulia atau mati masuk surga, hehe.

Yap, inilah makananku sehari-hari. Aku sengaja beli nasi yang banyak trus dipisah sama lauknya, supaya nggak cepat basi dan bisa kumakan sampai malam. Bukan apa-apa, tapi uang bulananku sedikit, sudah habis untuk bayar kos, beli pulsa, dan fotokopi makalah plus ngetik ini itu. Syukur-syukur bisa makan tiga kali sehari dengan cara cerdas kayak gini! Makanya aku suka jantungan melihat pola makan Meilin. Yang paling menyakitkan adalah... dia mengira sepertinya semua orang tuh kayak dia, mempu beli makanan apa aja, minuman apa aja, terus dengan senyum lebar membuang itu semua untuk dijadikan pupuk.

“Alhamdulillah...” Aku membungkus kembali lauk dan nasi ysng belum dimakan, untuknanti sore dan malam di kost. Kutaruh kembali ke adalam kresek hitam kecil. Kemudian kutinggalkan sebentar untuk mencuci tangan sebentar di tempat wudhu.

Saat balik dengan shock kudapati Meilin sedang memandangi geli kresek 'makan malam'ku, dan laksana pahlawan dia mengambil kresek hitam itu dengan sebelah tangan sambil bertanya,
“siapa nih yang udah nyampah di mushola?”
Plukk!
Serta merta Meilin melempar makan malamku-semuanya-, perkedel jagung, nasi, perkedel kentang, dan sambel- ke dalam tong sampah di samping mushala. Aku yang nggak ada penyakit dalam mendadak jantungan.
“Meiliiiiin...!”
Meilin memandangku dengan mata sipitnya, kebingungan.
“Kenapa, Ra?”
“plastik tadi itu bukan sampah, itu makan malamkuuuuu!”
“hah?makan malam?” Meilin bertanya tak percaya. Aku mengangguk kencang.
“ya udah, aku ganti deh! Yuk sekalian antar aku lagi ke tempat makan biasa! Kamu pesen ajan untuk dibungkus, nanti tinggal kubayarin, oke?”
Aku masih melongo. Mungkinkah inilah yang dinamakan sengsara membawa nikmat?

* * *

aku mencoba menjaga jarak dengan Meilin. Gaya hidupnmya serba 'wah' membuatku tak tahan untuk memberi kritik. Dia jadi sering marah juga karena sering kukritik. Lebih baik aku mencari akhwat yang lebih sederhana dan bersahaja untuk jadi teman jalan bareng, biar lebih enak, dan sudah kutemukan orangnya... Sisi!
“Ra, mau nganter aku ngisi pulsa lagi nggal?
Habis itu kita jalanlihat-lihat baju”
“Nah,lho? Ngisi pulsanya kan baru kemarin?Emang udah habis?” Aku bingung, kayaknya kemarinSisi ngisi seratus ribu deh.
“Idiih, kan kemarin cuma ngisi seratus ribu, udah habis buat sekali nelpon lah.”
Aku korek kupingku di balik jilbab. Salah denger kali ya? Masak iya seratus ribu sekali nelpon?Sepuluh ribu kali ye?
“Aku biasa habis dua juta untuk pulsa sebulan, lumayan kan... Irit juga, Bunda sih ngasih aku dua setengah juta, tapi yang setengah jutanya kutabung, kan harus hidup irit.”
mulutku menganga tanpa harus kubuka, mataku tak berkedip memandang Sisi. Mencoba menreka, apakah dia tahu kalau sebulannya aku cuma beli pulsa duapuluh ribu perak.

* * *

Sisi mencomot beberapa baju dan meminta tolong aku untuk memeganginya.
“ini mau dibeli semua Si?” Aku mengernyit, lima potong baju yang harganya rata-rata di atas lima puluh ribu. Pantesanwalaupun kelihatan sederhana, tapi baju-baju yang dipake sisi memang kelihatan bersih dan kayak baru semua, ternyata memang Baru beneran.
“ya iyalah mau dibeli!Masak mau aku ambil, itu mencuri namanya, dosa!”
“Lho ini ada baju yang menurutku agak kecil untuk ukuran kau, coba dulu gih!jangan-jangan nggak muat”
Sisi berhenti mencomot dan memandangku dengan tatapan yang tak nyaman. Aku jadi salah tingkah.
“Maksud kamu badanku gembrot jadi nggak muat pake baju itu, gitu?”
“Nah lo!” Aku tertawa. Dasar Sisi, paling sensitif kalau masalah badan. Padahal badannya nggak gendut-gendut amat.
“Tuh kan!kamu ketawain aku!”
“Lho, habisnya kamu aneh banget, bajunya yang kecil kok malah ngerasa badan kamu yang gede!”
Aku terdian dan memberanikan diri untuk bertanya pada Sisi.
“Si”, panggilku, pelan. Sisi menoleh dan menatapku.
“hah?Kenapa Ra?”

Aku binging deh, kok sekarang ini banyak banget akhwat yang tajir, kamu contohnya, si Meilin juga, aku jadi bingung... kalian sebenarnya tahu nggak sih kalau sebenernya ada juga akhwat yang kurang mampu kayak aku ini. Jangankan beli baju lima potong dalam satu bulan, beli satu potong baju dalam satu semester aja baru hari ini.

“Kenapa Ra?”
“Eh, nggak! Nggak pa-pa, cuma pengen manggil aja.”
“Iih, Ira mah sering gitu!”
Aku cuman senyum tipis. Nggak nyaman. Yang Sisi lakuin ini sebearnya pemborosan bukan sih?kok bagiku ini berlebihan ya? Sisi ternyata bukan cuma beli lima baju, tapi terus bertambah menjadi tujuh baju, tiga rok – ketiga-tiganya warna hitam- danjuga tujuh jilbab.
Aku nge-gubrak, Sisi ini akhwat apa artis sih? Belanja pulsa dua juta sebulan, beli jilbab koleksi satu warna sampai ada tujuh. Tolooong!

* * *

Lama-lama aku bisa jantungan beneran kalau terus-terusan berteman dekat dengan Meilin maupun sisi. Rasanya aku tak kuat melihat gaya hidup mereka yang selangit. Minggu lalu aku menangkap basah Sisi menjadikan baju yang dibelinya bareng aku waktu itu – dan sudah kuperingatkan kekecilan- menjadi kain pel rumahnya, padahal baju baru! Baju baru gitu loh! Terus sambil malu-malu dia bilang ke aku...

“Iya Ra! Kamu bener... bajunya kekecilan.”
“Sisiiii... kok dijadikan kain pel?Kan bisa kasih ke anak Yatim atau orang-orang yang nggak mampu yang butuh baju layak pakai,” Jeritku. Tidak disangka, Sisi malah gantian jerit...
“jangaaaan! Masak ngasih orang miskin baju yang nggak kita suka! Kan kita harus memberikan apa yang kita cintai.kalau mau ngasih sumbangan baju, aku selalu beli yang lebih mahal danlebih layak pakai.”

Aku cuma melotot, menahan pusing yang tiba-tiba melanda saat itu. Gilaaaaa!

Tidak ada komentar: