Kamis, 06 Mei 2010

CINTAILAH AKU APA ADANYA


Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan Saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan,saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif sertaberperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut. "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan". Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?".

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.

Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?" Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok.". Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ... "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya." Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-2 saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya. Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang. Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk mengarahkanmu. Kamu selalu pegal-pegal pada waktu "teman baikmu" datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal. Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi "aneh". Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami. Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.

"Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku. Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

"Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *
For vieny, welcome to your husband’s heart.
*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.

Sumber : Majalah Ummi, edisi 12/XIII/2002

AKHWAT MUBAZIR


“Kok disisain banyak gini, Lin?”Aku melotot melihat onggokan nasi dan cap cay yang memenuhi piring.
“Udah kenyang! Nggak kuat lagi Ra!” Meilin memegangi perutnya.
“Kenapa tadi dibeli? Porsi capcay di sini kan emang banyak banget, harganya aja sebelas rebu,” aku menatap meilin gemas. Akhwat sipit itu cuek aja mengambil tisu dan mengelap mulutnya.
“yaa. Tadi kan aku lagi laper, Ra...”
“kamu nggak sayang, Lin? Sebelas ribu cuma kamu habisin seperempatnya doang?” tanyaku lagi.
“Aku mah lebih sayang sama badanku, Ra! Daripada makan berlebihan, badanku yang rusak, hayoo!”
Aku geleng0geleng kepala sambil menghela napas panjang. Pusing melihat kelakuan Meilin yang telah berulang kali seperti ini.
“yah.. terserahlah!” seruku akhirnya. Meilin tersenyum lebar sampai kelihatan kayak lagi merem, matanya yang sudah kecil tambah nggak kelihata.
“mas, jus mangganya satu!” Meilin memanggil seorang pelayan melintas.
“sebenarnya kamu kenapa sih ,Ra? Aku perhatiin... kayaknya kamu nggak pernah seneng nganterin aku makan di sini.”
Aku menggeleng cepat.
“Bukan! Bkan kayak gitu, Lin! Aku cuma ngerasa kamu boros aja kalau makan di sini.”
“Boros?” Meilin mengernyitkan kening, “Boros gimana maksud kamu?” Dia mencondongkan wajah ke arahku minta penjelasan.
“yah... kalo di tempat makan deket stasiun sana harga capcay kan cuma enam ribu, jus cuma tiga ribu, kamu malah makan di sini. Capcay sebelas ribu, jus enam ribu. Padahal kalau menurutku, rasa di sini sama saja, cuma menang tempat doang.”
Gantian Meilin yang geleng kepala, tersenyum sambil menyandarkan punggung ke belakang kursi.
“Kalau soal makan, aku nggak mau di sembarang tempat, Ra! Kamu tahu sendiri kan banyak makanan yang nggak sehat pengolahannya, pake pengawt lah, formalin, dan kawan-kawan. Nah, kalau di tempat ini aku udah yakin halal dan bersih. Bukankah itu yang seharusnya lebih penting untuk diperhatikan?”
Aku terdiam, “Benar juga sih. Tapi kalau gitu, lebih baik lain kali kita makan bareng aja, satu piring berdua, pt-pt, gimana? Daripada mubazir, temannya setan”
“Iih... kamu nggak risih apa makan satu porsi berdua?” Meilin mengernyit.
“Memangnya kenapa?” Akuikutan mengernyit.
“nanti dikira orang-orang, kita nggak mampu beli lho!”
Deg. Ada jarum beracun tertancap di jantungku.
“Lagipula tenang aja, nggak bakal mubazir kali... kan sisa-sisa makananku ini bisa dimakan kucing, tikus, bisa juga dijadiin pupuk alami, mana ada yang nggak berguna.”

pelayan menaruh segelas jus mangga ke atas meja. Meilin langsung mengambil uang dalam dompetnya dan membayar lunas pesanannya. Kemudian ia menyedot jus mangganya, mengambil tisu lagi ,mengelap mulutnya lagi, lalu mengajakku pulang.
“Yuk, cabut!”
Aku melotot melihat jus mangga yang masih tersisa lebih dari setengah gelas besar itu.
“Meiliiin! Habisin dulu! Ini enam ribu tauuk!” Omelku. Meilin cuma mengangkat bahu.
“Agak asem, aku nggak suka, buat pupuk aja. Yuk ah!”
Seperti ada orang yang menggoreng jantungku, panas banget.

* * *

Mungkin bukan Meilin yang boros atau mubazir.
Yah, mungkin bukan Meilin yang berlebihan, tapi akulah yang kekurangan! Sehingga melihat kelakuan seperti Meilin itu aku tak bisa menerimanya.
Bagaimana bisa terima? Uang delapan belas ribu untuk sekali makan, itupun terbuang percuma. Masih lumayan kalau habis, berguna untuk tubuh dia. Lha.. ini, semuanya dikasi ke kucing, tikus, atau pohon. Keren amat! Aku aja nggak pernah makan yang begituan. Jangan-jangan tikus di sekitar tempat makan itu lebih makmur daripada aku, huh!
“Bu, nasinya dibungkus, yang banyak ya! 1 porsi kuli!” seruku pada ibu tukang jual nasi langgananku.
“Lauknya apa, Nak?”
“Dipisah kayak biasa ya, Bu! Perkedel kentang 2, perkedel jagung 2, telur 1, sama sambalnya banyakin!” Si Ibu tersenyum melihatku sambil membungkus semua pesananku.
“Udah?Berapa semuanya Bu””
“Buat Neng mah empat ribu aja!”
“Hah? Cuma empat ribu?Serius Bu?Nggak rugi nih?Ya Udah!” langsung kuberi empat lembar uang seribuan, khawatir si Ibu berubah pikiran. Si Ibu hanya tertawa melihat kelukuanku yang ketahuan nggak punya duit gitu.
“Eh, lupa Bu! Minta air minum sama sendok bebeknya sekalian!” seruku cuek. Si Ibu senyumnya makin lebar. Mungkin lucu ngeliat akhwat jilbab lebar kayak aku kok tumben ada yang kere! Kali ye.
Biarin aja, yang penting hidup mulia atau mati masuk surga, hehe.

Yap, inilah makananku sehari-hari. Aku sengaja beli nasi yang banyak trus dipisah sama lauknya, supaya nggak cepat basi dan bisa kumakan sampai malam. Bukan apa-apa, tapi uang bulananku sedikit, sudah habis untuk bayar kos, beli pulsa, dan fotokopi makalah plus ngetik ini itu. Syukur-syukur bisa makan tiga kali sehari dengan cara cerdas kayak gini! Makanya aku suka jantungan melihat pola makan Meilin. Yang paling menyakitkan adalah... dia mengira sepertinya semua orang tuh kayak dia, mempu beli makanan apa aja, minuman apa aja, terus dengan senyum lebar membuang itu semua untuk dijadikan pupuk.

“Alhamdulillah...” Aku membungkus kembali lauk dan nasi ysng belum dimakan, untuknanti sore dan malam di kost. Kutaruh kembali ke adalam kresek hitam kecil. Kemudian kutinggalkan sebentar untuk mencuci tangan sebentar di tempat wudhu.

Saat balik dengan shock kudapati Meilin sedang memandangi geli kresek 'makan malam'ku, dan laksana pahlawan dia mengambil kresek hitam itu dengan sebelah tangan sambil bertanya,
“siapa nih yang udah nyampah di mushola?”
Plukk!
Serta merta Meilin melempar makan malamku-semuanya-, perkedel jagung, nasi, perkedel kentang, dan sambel- ke dalam tong sampah di samping mushala. Aku yang nggak ada penyakit dalam mendadak jantungan.
“Meiliiiiin...!”
Meilin memandangku dengan mata sipitnya, kebingungan.
“Kenapa, Ra?”
“plastik tadi itu bukan sampah, itu makan malamkuuuuu!”
“hah?makan malam?” Meilin bertanya tak percaya. Aku mengangguk kencang.
“ya udah, aku ganti deh! Yuk sekalian antar aku lagi ke tempat makan biasa! Kamu pesen ajan untuk dibungkus, nanti tinggal kubayarin, oke?”
Aku masih melongo. Mungkinkah inilah yang dinamakan sengsara membawa nikmat?

* * *

aku mencoba menjaga jarak dengan Meilin. Gaya hidupnmya serba 'wah' membuatku tak tahan untuk memberi kritik. Dia jadi sering marah juga karena sering kukritik. Lebih baik aku mencari akhwat yang lebih sederhana dan bersahaja untuk jadi teman jalan bareng, biar lebih enak, dan sudah kutemukan orangnya... Sisi!
“Ra, mau nganter aku ngisi pulsa lagi nggal?
Habis itu kita jalanlihat-lihat baju”
“Nah,lho? Ngisi pulsanya kan baru kemarin?Emang udah habis?” Aku bingung, kayaknya kemarinSisi ngisi seratus ribu deh.
“Idiih, kan kemarin cuma ngisi seratus ribu, udah habis buat sekali nelpon lah.”
Aku korek kupingku di balik jilbab. Salah denger kali ya? Masak iya seratus ribu sekali nelpon?Sepuluh ribu kali ye?
“Aku biasa habis dua juta untuk pulsa sebulan, lumayan kan... Irit juga, Bunda sih ngasih aku dua setengah juta, tapi yang setengah jutanya kutabung, kan harus hidup irit.”
mulutku menganga tanpa harus kubuka, mataku tak berkedip memandang Sisi. Mencoba menreka, apakah dia tahu kalau sebulannya aku cuma beli pulsa duapuluh ribu perak.

* * *

Sisi mencomot beberapa baju dan meminta tolong aku untuk memeganginya.
“ini mau dibeli semua Si?” Aku mengernyit, lima potong baju yang harganya rata-rata di atas lima puluh ribu. Pantesanwalaupun kelihatan sederhana, tapi baju-baju yang dipake sisi memang kelihatan bersih dan kayak baru semua, ternyata memang Baru beneran.
“ya iyalah mau dibeli!Masak mau aku ambil, itu mencuri namanya, dosa!”
“Lho ini ada baju yang menurutku agak kecil untuk ukuran kau, coba dulu gih!jangan-jangan nggak muat”
Sisi berhenti mencomot dan memandangku dengan tatapan yang tak nyaman. Aku jadi salah tingkah.
“Maksud kamu badanku gembrot jadi nggak muat pake baju itu, gitu?”
“Nah lo!” Aku tertawa. Dasar Sisi, paling sensitif kalau masalah badan. Padahal badannya nggak gendut-gendut amat.
“Tuh kan!kamu ketawain aku!”
“Lho, habisnya kamu aneh banget, bajunya yang kecil kok malah ngerasa badan kamu yang gede!”
Aku terdian dan memberanikan diri untuk bertanya pada Sisi.
“Si”, panggilku, pelan. Sisi menoleh dan menatapku.
“hah?Kenapa Ra?”

Aku binging deh, kok sekarang ini banyak banget akhwat yang tajir, kamu contohnya, si Meilin juga, aku jadi bingung... kalian sebenarnya tahu nggak sih kalau sebenernya ada juga akhwat yang kurang mampu kayak aku ini. Jangankan beli baju lima potong dalam satu bulan, beli satu potong baju dalam satu semester aja baru hari ini.

“Kenapa Ra?”
“Eh, nggak! Nggak pa-pa, cuma pengen manggil aja.”
“Iih, Ira mah sering gitu!”
Aku cuman senyum tipis. Nggak nyaman. Yang Sisi lakuin ini sebearnya pemborosan bukan sih?kok bagiku ini berlebihan ya? Sisi ternyata bukan cuma beli lima baju, tapi terus bertambah menjadi tujuh baju, tiga rok – ketiga-tiganya warna hitam- danjuga tujuh jilbab.
Aku nge-gubrak, Sisi ini akhwat apa artis sih? Belanja pulsa dua juta sebulan, beli jilbab koleksi satu warna sampai ada tujuh. Tolooong!

* * *

Lama-lama aku bisa jantungan beneran kalau terus-terusan berteman dekat dengan Meilin maupun sisi. Rasanya aku tak kuat melihat gaya hidup mereka yang selangit. Minggu lalu aku menangkap basah Sisi menjadikan baju yang dibelinya bareng aku waktu itu – dan sudah kuperingatkan kekecilan- menjadi kain pel rumahnya, padahal baju baru! Baju baru gitu loh! Terus sambil malu-malu dia bilang ke aku...

“Iya Ra! Kamu bener... bajunya kekecilan.”
“Sisiiii... kok dijadikan kain pel?Kan bisa kasih ke anak Yatim atau orang-orang yang nggak mampu yang butuh baju layak pakai,” Jeritku. Tidak disangka, Sisi malah gantian jerit...
“jangaaaan! Masak ngasih orang miskin baju yang nggak kita suka! Kan kita harus memberikan apa yang kita cintai.kalau mau ngasih sumbangan baju, aku selalu beli yang lebih mahal danlebih layak pakai.”

Aku cuma melotot, menahan pusing yang tiba-tiba melanda saat itu. Gilaaaaa!

Hot News Lomba Desain Karya Seni Menggunakan Open Source Software


A. Tentang Lomba
Brosur Lomba

Brosur Lomba

Gerakan masyarakat bisa bergema dan diikuti secara massal oleh masyarakat karena dukungan kampanye yang baik. Salah satu media yang digunakan adalah melalui poster sebagai media kampanye. Dengan gambar dan teks yang fokus dan mengena, masyarakat mudah memahami pesan-pesan kampanye yang tertuang dalam poster.

Perangkat lunak bisa digunakan sebagai alat untuk membuat desain poster. Seperti poster kampanye Indonesia Go Open Source yang menggunakan perangkat lunak bebas dan kode terbuka sebagai alat membuat poster.

Belum banyak masyarakat yang mengenal perangkat lunak bebas dan kode sumber terbuka khususnya perangkat lunak yang digunakan untuk desain dan multimedia. Padahal dengan menggunakan perangkat lunak bebas dan kode sumber terbuka, maka akan memberikan dampak penghargaan kekayaan intelektual (tidak melakukan pembajakan), tumbuhnya industri kreatifitas (terbukanya akses menggunakan perangkat lunak secara bebas).

Lomba disain karya seni (poster) menggunakan perangkat lunak kode sumber terbuka merupakan salah satu cara untuk melakukan kampanye dan sosialisai penggunaan perangkat lunak kode sumber terbuka, selain itu juga merupakan salah satu cara untuk menunjukan kemampuan perangkat lunak kode sumber terbuka untuk bersaing dengan perangkat lunak proprietary.

Sebagai wujud kepedulian terhadap penggunaan perangkat lunak kode sumber terbuka, terutama perangkat lunak untuk desain, AirPutih mengadakan Lomba Desain Karya Seni (Poster) Menggunakan Perangkat Lunak Kode Sumber Terbuka. Lomba ini ditujukan untuk kalangan perlajar, SD, SMP, dan SMA. Untuk mengikuti lomba ini tidak dikenakan biaya.
B. Peserta

Peserta adalah pelajar dan akan dibagi menjadi tiga kategori :

* Kategori SD, target peserta 100 peserta
* Kategori SMP, target peserta 100 peserta
* Kategori SMA, target peserta 100 peserta

C. Bentuk desain

Desain berupa poster dengan tema free and open source software
D. Waktu dan Pelaksanaan

Lomba ini akan dibagi dalam beberapa tahap, diantaranya adalah sebagai berikut :

* Tahap pengumpulan (01 Mei 2010 s/d 01 Juni 2010).

Tahap pengumpulan hasil karya oleh peserta adalah tanggal 01 Mei 2010 sampai tanggal 01 Juni 2010

* Tahap penilaian oleh dewan juri (02 Juni s/d 04 Juni 2010)

Tahap ini merupakan seleksi oleh juri, dimana akan dinilai beberapa aspek, diantaranya adalah penggunaan perangkat lunak kode sumber terbuka, dan penilaian desain secara umum, dari tahap ini akan dipilih 10 besar peserta untuk setiap kategori.

* Tahap Penilaian oleh Masyarakat / Polling (05 Juni s/d 10 Juni)

Tahap penilaian oleh masyarakat, dimana masyarakat akan memilih dengan cara polling melalui internet yang akan menghasilkan juara I, II, dan III.
E. Syarat dan Ketentuan

Adapun syarat dan ketentuan lomba adalah sebagai berikut :

1. Hak cipta hasil karya tetap pada pembuat.
2. Hasil karya harus dilisensikan di bawah CC-BY atau CC-BY-SA. CC-BY atau CC-BY-SA adalah salah satu lisensi yang diorganisasi oleh Creative Commons. Anda bisa mempelajari lebih jauh mengenai model-model lisensi Creative Commons di http://creativecommons.org/about/licenses
3. Berkas yang dikirim dalam format .svg atau .xcf
4. Hasil karya bisa diunggah melalui web pada tautan berikut , atau dikirim menggunakan media CD ke alamat kantor AirPutih.
5. Jika di unggah melalui web, hasil karya dapat di compress ke dalam satu berkas (zip, tar, gz, dan lain-lain) untuk memudahkan pengunggahan.
6. Jika sebagian bahan yang digunakan menggunakan hasil dari orang lain maka wajib memberikan keterangan sumbernya.
7. Peserta wajib mengirimkan kode sumber hasil karyanya.

F. Informasi

Untuk informasi lebih lanjut :

Sekretariat AirPutih Jakarta
JL. KH. Abdullah Syafi’ie No. 55
Casablanca – Tebet
Jakarta Selatan, 12860
Telp. 021 8310455
Fax. 021 8295675

Website : http://airputih.or.id http://oss.airputih.or.id
email : info [at] airputih.or.id
G. Tautan Tutorial

Bila anda masih belum paham tentang desain grafis menggunakan perangkat lunak kode sumber terbuka, tidak ada halangan untuk mengikuti lomba ini, beberapa tutorial bisa anda pelajari untuk mulai belajar menggunakan perangkat lunak desain kode sumber terbuka.